Rabu, 27 Juni 2012

PUISI - PUISI KARYA CHAIRIL ANWAR


KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946


DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943


Di Masjid ~ Chairil Anwar
Kuseru saja Dia
sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
gelanggang kami berperang
Binasa membinasa
satu menista lain gila
~ Chairil Anwar



MERDEKA (14 Juli 1943)
Karya Chairil Anwar

Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
menjadi sumsum dan darah
seharian kukunyah – kumamah
Sedang meradang
segala kurenggut
ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
selama tidak diantara badai
kalah menang
Ah ! Jiwa yang menggapai-gapai
mengapa kalau beranjak dari sini
kucoba dalam mati

Selamat Tinggal-Chairil Anwar

Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya ?
Kudengar seru menderu
dalam hatiku
Apa hanya angin lalu ?
Ah…….!!
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal ………….!!
Selamat tinggal …………….!!


PROFIL CHAIRIL ANWAR 
Nama :
Chairil Anwar

Lahir :
Medan, 26 Juli 1922

Wafat :
28 April 1949.

Pendidikan :
HIS,
MULO (tidak tamat)

Karier :
Radaktur Gelanggang
(1948-1949),
Redaktur Gema Suasana (1949)

Kumpulan Sajak :
Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (1949),
Deru Campur Debu (1949),
Tiga Menguak Takdir (1950),
 Aku Ini Binatang jalang (1986),
Dearai-Daerai Cemara (1999)